Rabu, 29 Juni 2016
PolitikPrediksi Peluang di Pilkada
Prediksi Peluang di Pilkada
Tahun memilih
pemimpin baru melalui Pilkada 2017 akan segera berlangsung, banyak bermunculan
para kandidat yang berkeinginan maju menjadi orang nomor satu di Aceh.
Terhitung ada delapan calon yang berkeinginan maju yaitu Ahmad Farhan Hamid,
Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf, Muzakir Manaf, Tarmizi Karim, T.M. Nurlif, Zaini
Abdullah, dan Zakaria Saman. Mereka semua belum sah dinyatakan bakal calon oleh
Komisi Independent Pemilihan Aceh. Bagi saya menarik ingin fokus pada
menganalisis satu sosok yang sangat diperhitungkan oleh para kandidat lainnya
yakni Muzakir Manaf. Bagaimana tidak? Dalam analisis SWOT, khususnya untuk
kekuatan (strengths) yang Jaringan Survei Inisiatif identifikasikan memiliki
modalitas yang kuat.
Dimulai sebagai
co-incumbent (status wagub Aceh), Ketua Partai Aceh, sumber finansial, Ormas
Komite Peralihan Aceh (KPA), sayap pemenangan (Rakan Mualem), underbow Partai
Aceh (Putroe Aceh, Pemuda Partai Aceh), di dukung parnas Gerindra, dan
lain-lain. Tetapi dalam politik belum menjamin dirinya dengan segala modalitas
mampu mengantarkan dirinya menang pada Pilkada 2017. Atau sebaliknya bisa
mengantarkan Mualem menjadi gubernur Aceh dengan stretegi politik yang jitu.
Disinilah menarik menganalisis, jika Mualem kalah pada Pilkada 2017 nantinya.
Ini hanyalah sebuah prediksi dalam hasil amatan. Karena berlaku dalam teori
elit, bahwa kekuasaan tidak selalu bertahan selamanya, karena akan mengalami
metamorfosis atau bertransformasi ke rezim kekuasaan yang baru dengan
menghadirkan elit baru.
Paska damai kekuatan
kader Partai Aceh di tidak bisa dianggap remeh, karena di Pileg tahun 2009
memperoleh 33 kursi dari 64 kursi yang tersedia di DPRA (parlemen Aceh). Pada
periode Pileg kedua sedikit mengalami penurunan menjadi 29 kursi dari 81 kursi
di parlemen. Jumlah kursi yang masih dominan dibandingkan partai nasional
maupun lokal lainnya, dimana mampu mengantarkan Muzakir Manaf satu-satunya
kandidat yang mencukupi syarat secara administrasi dalam ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat mewajibkan sebesar 15% dari total
jumlag kursi di parlemen, kalau menggunakan UU No. 11 tahun tentang Pemerintah
Aceh atau 20% jika merujuk pada UU No. 08 tahun 2015 tentang Pilkada.
Hanya saja,
berbanding terbalik ketika membaca peluang Muzakir Manaf di Pilkada 2017
nantinya. Tinjaunnya dilihat pada elektabilitas dirinya di mata pemilih
(masyarakat) Aceh. Hasil berbagai lembaga survei baik lokal maupun nasional
menempatkan Muzakir Manaf tidak unggul dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Jauh tertinggal dari Irwandi Yusuf manta gubernur Aceh periode 2006-2012,
malahan posisi Tarmizi Karim digadang-gadangkan mampu menyalip Muzakir Manaf.
apakah Ini berarti pengaruh ketokohan (personal) Mualem sudah mulai tergerus?
bahasa lainnya “Mualem Effect” terlihat menunjukan gejala meredup. Tentunya
memunculkan pertanyaan mendasar apa yang melatarbelakangi? Ada beberapa faktor
janji politik yang tidak mampu direalisasikan, kinerja pemerintahan bersama
pasangannya Zaini Abdullah tidak memberikan perubahan siginifikan bagi
kehidupan masyarakat, tidak menjaga konsistuen sibuk urusan regulasi atau
peraturan, perpecahan di internal PA, dan lain-lain.
Mirisnya lagi
terjadinya gesekan berujung perbedaan dukungan terlihat di level kabupaten/kota
dalam hal pengusungan kader PA di Pilkada 2017 sebagai bupati/walikota,
seperti; Bireun, Abdya, Pidie, Aceh Selatan, Sabang, dll. Hal itu mengakibatkan
menimbulkan friksi dalam upaya mendukung Mualem sebagai gubernur Aceh periode
2017-2022. Pemikiran itu secara rational choice berpeluang terjadi. Yang
menimbulkan tanda tanya besar bagi publik, meskipun fakta dilapangan friksi itu
tampak secara vulgar di lapangan namun di internal PA sendiri mengatakan bahwa
mereka masih solid.
Peluang yang
memperbesar kekalahan Mualem terletak di pemilihan wakilnya. Bilamana salah
pilih wakilnya, maka berdampak pada kekalahan. Rumus baku politik mengatakan
memilih wakil harus mendongkrak elektabilitas paket keduanya, bahasa lainya
menambah pundi-pundi suara bagi pasangan Mualem dengan wakilnya. Faktanya, saat
ini saya mengibaratkan Mualem sedang makan buah simalakama (mundur kena maju
kena). Penyebabnya dikarenakan Mualem sebelumnya sudah mengumumkan ke publik,
bahwa wakilnya dari kalangan partai nasional. Tapi magnet politik di internal
Partai Aceh berkehendak lain, karena inginnya tetap mengambil kader sendiri
diduetkan dengan Mualem. Memang sih banyak diskusi berbagai narasumber
mengatakan sosok Mualem masih dianggap berpeluang menang di Pilkada 2017.
Malahan ada slogan ‘dipasangkan dengan siapa pun Mualem pasti menang’. Klaim
dalam politik sah-sah saja, walau hasilnya sangat ditentukan dinamika politik
yang berkembang. Tidak tertutup kemungkinan klaim itu gugur pada saat rakyat
Aceh berkehendak memilih yang lain di Pilkada serentak di bulan Febuari 2017
nantinya.
Dampak terlalu kuat
turbulensi yang terjadi di internal PA terkait pemilihan pendamping Mualem di
Pilkada 2017 memunculnya banyak blok. Pengamatan saya ada 4 blok terdiri dari;
blok pertama kalangan partai yang tergabung di dalam Koalisi Aceh Bermartabat,
blok kedua pendukung T.A. Khalid yang berkeinginan menjadikan wakilnya Mualem,
blok ketiga kalangan internal Partai Aceh sendiri yang berhasrat mengusung dari
kalangan kader sendiri, dan blok terakhir kuda hitam untuk dipasangkan dengan
mualem yaitu Amir Faisal.
Terlihat sekali pada
saat pelaksanaan Musyawarah Partai Aceh Bansigom Aceh Tahun 2016 yang digelar
di Hotel Grand Aceh pada Minggu 10 April 2016 berakhir ricuh. Dimana terasa
nuansa tarik menarik kepentingan untuk memasangkan jagoannya menjadi wakilnya
Mualem. Ada ketakutan jika bukan dari kader Partai Aceh maka soliditas
mendukung Mualem akan terpecah dengan mendukung kandidat gubernur lain.
Disebabkan ketakutan “paranoid”, bahwa akan berefek hingga ke level
kabupaten/kota. Faktanya hasil dari Pilkada 2012 kader PA mendominasi menjabat
sebagai bupati/walikota di 11 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, meliputi;
Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa,
Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, dan Pidie Jaya.
Hitung-hitung logika
politik lainnya, bilamana memilih T. A. Khalid akan mengalami tidak solid yang
berpotensi larinya dukungan dari Parnas kepada Mualem. Harus difahami juga,
selama ini yang selalu dekat bersama Mualem dan selalu terdepan jika diperlukan
Mualem adalah T.A. Khalid. Itulah yang membuat Mualem jatuh hati dengan T.A.
Khalid, pesan tersiratnya beliau sudah banyak berkorban untuk T.A. Khalid,
termasuk berhutang ke Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, karena telah
memberi bantuan finansial pada saat Pilkada 2012. Efek politik balas budi akan
memperkuat posisi T.A. Khalid berpasangan dengan Mualem. Apalagi faktor
pengalaman berpolitik dan pernah di parlemen serta memiliki basis massa ada di
T.A. Khalid beda dengan Abu Razak. Minimal sekali, T.A Khalid sudah memiliki
basis massa yang loyal terhadap dirinya. Sedangkan Abu Razak tidak memiliki
elektabilitas yang tinggi atau mengalahkan T.A. Khalid, karena dirinya belum
diukur secara ilmiah melalui survei.
Penulis telah
menjaring pandangan masyarakat melalui via sms, sosial media (BBM, WA, dan FB)
banyak yang mengatakan tidak akan terjadi gejolak keamanan, jilkalau Mualem
kalah. Disisi lain ada yang mengatakan Mualem harus berjiwa besar dan berlapang
dada ketika dirinya kalah di Pilkada. Dalam pertarungan siap menang dan siap
kalah. Kalau pun kita asumsikan hadirnya tindakan gejolak keamanan pemerintah
memiliki alat negara yang bisa menangani gejolak keamanan yakni aparat
Kepolisian dan TNI. Pada ketentuan hukum, siapa pun yang bermasalah dengan
hukum tanpa terkecuali wajib di tindak dengan mekanisme penegakan hukum.
Keseluruhan analisis
bisa berubah ketika posisi mengharuskan Mualem menang, dikarena deal politik
dengan pemerintah pusat berhasil. Syaratya mengubah bendera dan memenangkan PA.
Disisi lain regulasi ”Qanun” akan memincu polemik yang berujung perang elit
politik ini sangat diuntungkan Mualem, karena posisi kandidat independent akan
melemah atau tidak bisa berpartisipasidi Pilkada. Jikalau Qanun Pilkada
memberatkan syarat bagi calon perorangan/independent. Tetapi jika terjadi
penundaan karena situasi keamanan dan polemik regulasi yang tak kunjung
selesai, maka penundaan akan menurunkan power (kekuatan) Mualem. Peluang ini dimanfaatkan
bagi kandidat lain untuk meningkatkan elektabilitas dengan mengambil momentum
atas meredupnya elektabilitas Mualem.
Mari bagi siapa pun
tanpa terkecuali mematuhi regulasi dan peraturan yang mengatur proses jalannya
Pilkada. Semua kandidat harus berbesar hati jika kalah dalam Pilkada nantinya,
dan bagi pemimpin yang dipercayakan amanah oleh rakyatnya, semoga mampu untuk
merangkul seluruh stake holder di Aceh, Sebagai manusia, selalu ada kelebihan
dan kekurangan, mari saling melengkapi satu sama lain, jika memang para calon
pemimpin dan yang akan menjadi pemimpin nantinya memiliki rasa untuk membuat
Aceh yang lebih maju dan bermartabat seperti yang diinginkan oleh masyarakat
Aceh terkhusus.
Aryos Nivada
(Pengamat Politik dan Keamanan Aceh)
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Rakyat Aceh, terbitan 27 April 2016.
(Pengamat Politik dan Keamanan Aceh)
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Rakyat Aceh, terbitan 27 April 2016.
Menakar Peluang Irwandi Yusuf di Pilkada 2017
EDITOR: KLIKKABAR.COM 31 Mei 2016
OLEH : ARYOS NIVADA DIHAJATAN ketiga kalinya (2006, 2012, dan 2017) Pilkada berlangsung di Aceh, sosok yang berkeinginan maju menjadi Gubernur Aceh mendatang periode 2017-2022 sangat banyak. Mereka semua berjumlah delapan orang yaitu; Abdullah Puteh, Ahmad Farhan Hamid, Irwandi Yusuf, Muzakir Manaf, Tarmizi Karim, T. M Nurlif, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman. Dalam tulisan ini tidak membahas semua kandidat, karena direncanakan akan saya ulas satu persatu, namun tidak berbarengan. Pekan lalu sudah tulisan satu sosok yaitu Muzakir Manaf dengan tulisan berjudul ”Prediksi Peluang Mualem di Pilkada 2017”, diterbitkan Harian Rakyat Aceh pada tanggal 27 April 2017.
Untuk tulisan ini memfokuskan kepada satu sosok saja yakni Irwandi Yusuf. Sosoknya pernah merasakan menjadi orang nomor satu di Aceh pada periode 2006-2012. Hanya saja takdir berkata lain, dirinya tidak menang pada Pilkada di tahun 2012 dengan berbagai penyebab yang melatarbelakangi. Tetapi tidak menyurutkan semangatnya berpartisipasi kembali pada Pilkada 2017. Tentunya perlu memahami kembali track record (rekam jejak) terhadap Irwandi Yusuf. Tujuannya memberitahukan siapa Irwandi Yusuf bagian dari pendidikan politik memahami kandidat yang nantinya di pilih pada Pilkada 2017. Keinginan Irwandi Yusuf sama selayak kandidat lainnya ingin membawa perubahan bagi Aceh dalam segala aspek pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pendekatan dalam menguji track record (rekam jejak) Irwandi Yusuf melalui Analisis SWOT : kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis Swot ini bertujuan untuk memetakan sekaligus melakukan evaluasi terhadap potensi diri kandidat/personal seseorang yang ditinjau dalam empat hal tersebut. Pembuatan analisis SWOT sudah dengan menggunakan data primer dan sekunder diolah dalam tulisan ini.
Kekuatan (strengths)
Sebelum tulisan ini dibuat, Jaringan Survei Inisiatif telah membuat analisis SWOT untuk seluruh kandidat gubernur Aceh mendatang. Dari kajian kami di lembaga mendapatkan cukup banyak kekuatan dari sosok Irwandi Yusuf sebagai modalitas dirinya maju di Pilkada 2017. Modalitas paling penting yaitu masih kuatnya dukungan (elektabilitas) masyarakat Aceh kepada Irwandi Yusuf. Dibuktikan dari berbagai hasil survei partai politik dan lembaga survei menempatkan dirinya di posisi pertama dengan rentang angka yang tinggi. Pernah memiliki terobosan program dan kebijakan yang selalu diingat masyarakat, seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), Alokasi Dana Gampong (ADG,) Aceh Green, Beasiswa anak yatim piatu, kredit Peumakmu Nanggroe, dan lain-lain.
Selain itu modal cerdas, merakyat, berkarakter dan berpengalaman di pemerintah ada di dirinya, memiliki sedikit suara dari partainya “Partai Nasional Aceh” hanya sebesar 3 kursi di DPRA. Modalitas lainnya memiliki akses jaringan keluar negeri serta ada dukungan dari kalangan eks kombatan dan GAM yang masih loyal terhadap dirinya. Dan bertipikal rajin turun ke daerah. Sebelum blusukan Jokowi populer Irwandi sudah melakukannya dengan itilah “kunlap” alias kunjungan lapangan. Satu hal lagi terlupakan, jika Irwandi Yusuf (IY) memilih wakil yang memiliki elektabilitas yang dapat menambah suaranya merupakan kekuatan IY meningkatkan besaran elektabilitasnya. Kalau dirinya berpasangan dengan T. Setia Budi, maka itu menjadi kelemahan. Tetapi kalau berpasangan dengan Ridwan Abubakar (Nek Tu) atau Muzakir Manaf, atau usulan partai maka itu sebuah kekuatan.
Kelemahan (weaknesses)
Paling terlihat di publik kelemahan Irwandi Yusuf kemampuan finansialnya lemah, namun tertutupi dengan nilai kerelawanan dari tim pendukungnya. Ini juga mempengaruhi kerja-kerja tim pemenangan Irwandi Yusuf, Jika dibandingkan Zaini Abdullah dan Tarmizi Karim, dimana mereka berdua sangat banyak kegiatan ke lapangan dalam upaya mempengaruhi pemilih dilakukan. Ini juga mempengaruhi elektabilitas IY yang awalnya sebagai kekuatan berubah menjadi kelemahan. Disebabkan lemahnya kegiatan meraih dukungan pemilih, dikarenakan dana yang minim. Terbukti hanya survei kedua IY mengalami penurunan, walaupun tidak terlalu signifikan penurunannya dari survei pertama Jaringan Survei Inisiatif lakukan. Dalam amatan saya, tim-tim yang sudah dibentuk belum terintegral dan memiliki mekanisme sistem yang terkontrol. Itu menjadi sebuah kelemahan juga yang patut di perbaiki jika ingin menang. Saat ini semua kendali tim pemenangan berada di pundak Irwandi Yusuf, Seharusnya ada think tank dirinya yang berada di dalam dan luar sehingga mampu mengendalikan pergerakan tim yang bekerja memenangkan Irwandi Yusuf.
Hal lain dikatagorikan kelemahan yaitu masih bimbangnya sikap dari Irwandi Yusuf (IY) sendiri, dikarenakan belum ada partai mendukung dan belum bergeraknya tim Irwandi Yusuf dalam mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Walaupun pengalaman di tahun 2012 tim IY berhasil mengumpulkan KTP dalam rentang waktu dua bulan. Tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan hal serupa oleh timnya. Tetapi sebaliknya jika ada dukungan partai politik terhadap dirinya, maka bukan lagi sebuah kelemahan jika mengambil jalur independent. Karena upaya mewujudkan itu dilakukan IY dalam membangun komunikasi lintas partai. Dibuktikan mendaftar dirinya ke partai Demokrat dan Nasdem untuk diusung pada Pilkada nantinya. Kelemahan yang teridentifikasi lainnya adalah kurang mampu merajut kembali orang-orang tersakiti semasa dirinya menjadi gubernur.
Peluang (opportunities)
Untuk peluang yang dapat dimanfaatkan IY secara eksternal, dimana hasil dari kajian SWOT Jaringan Survei Inisiatif hanya mendapatkan lima peluang teridentifikasi dari berbagai data dan informasi. Pertama; masih ada pendukung birokrat/Pegawai Negeri Sipil (PNS) terlihat dari sekian banyak kalangan yang ditanyakan masih berkeinginan di pimpin IY. Pertimbangannya lebih terasa di kepemimpinan IY. Kedua; dukungan dana dari para pihak sangat berpotensi dimanfaatkan sebagai peluang untuk mencukupi dukungan logistik. Apalagi dirinya secara elektabilitas survei masih teratas, otomatis bagi investor atau mereka yang peduli terhadap IY akan menggelontorkan uangnya membantu IY. Ketiga; dukungan dari kalangan elit penguasa di pusat. Dimana upaya itu terlihat, ketika IY secara rutin berkunjung dan berkomunikasi dengan para petinggi elit penguasa pemerintaah saat ini. Keempat; peluang mendapatkan dukungan dari partai politik lainnya sangat besar, jika basis pengusungan partai politik berdasarkan hasil survei. Dan terakhir kelima dukungan dari kawula muda dan relawan yang besar.
Ancaman (threats)
Modus dari strategi yang disusun lawan politiknya IY begitu terlihat dan terbaca oleh publik. Dimulai dari mengusut kasus korupsi yang diindikasikan terlibat IY di dalamnya. Salah satunya kasus di BPKS Sabang membuat dirinya dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hanya sebatas saksi saja. Ancaman yang berpotensi dilakukan lawan politik yaitu diperketat syarat calon independent (perorangan) sehingga membuat IY kesulitan. Ancaman ini tidak hanya dirasakan oleh IY semata saja, karena Zaini Abdullah dan Zakaria Saman akan mengalami hal serupa dengan IY yang dipersulit lawan politik. Tujuan utama membuat kandidat independent (perorangan) tidak bisa maju di Pilkada 2017. Ancaman lainnya adalah dilakukan intimidasi dan kekerasan terhadap pemilih agar memilih sesuai arahan pelaku untuk kepentingan salah satu kandidat.
Begitulah sosok Irwandi Yusuf dalam analisis saya dengan pendekatan analisis SWOT. Tinggal bagaimana sikap pilihan masyarakat Aceh bersikap terhadap dirinya pada Pilkada 2017. Semua harus dipelajari track record (profil) sang kandidat agar tidak menyesal dalam menentukan pilihan, karena salah memilih rugi untuk lima tahun ke depannya. Perubahan Aceh ditentukan dari partisipasi masyarakat Aceh pada saat Pilkada 2017 berlangsung nantinya.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Politik Desain
|
|
|
Ingin Menang, Tak Siap Kalah
PEMILUKADA Kabupaten Bungo tahun 2011 dinilai sebagai penyelenggaraan pesta demokrasi terbaik di Provinsi Jambi. H Sudirman Zaini SH MH dan H Mashuri SP ME berhasil memenangkan pemilihan bupati dan wakil bupati Bungo periode 2011-2016. Tidak adanya gugatan dari calon yang kalah membuat langkah pasangan ini menuju pucuk pemerintahan di Bungo berjalan mulus.Masyarakat Bungo membuktikan bahwa mereka sudah menyadari arti demokrasi. Tidak bisa dipungkiri, di setiap pemilukada di Provinsi Jambi ada saja calon yang kalah menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya tentu saja untuk menggagalkan kemenangan calon terpilih. Namun sialnya, hampir seluruhnya pula gugatan calon yang kalah itu ditolak oleh MK.
Satu-satunya di Jambi gugatan yang dikabulkan MK terjadi dalam Pemilukada Kabupaten Tebo. Pasangan Yopi - Sapto yang sebelumnya sudah memenangkan pemilihan bupati dan wakil bupati Tebo periode 2011-2016 akhirnya batal dilantik, lantaran MK mengabulkan gugatan pasangan Suka – Hamdi. Menariknya lagi, MK justeru malah memerintahkan agar pemilukada di Tebo diulang.
Setelah dilakukan pemilukada ulang, pasangan Suka – Hamdi akhirnya menang. Kemenangan itu terang saja membuat berang kubu Yopi. Alhasil, walau Ketua Partai Demokrat Provinsi Jambi, H Hasan Basri Agus, sudah mewanti-wanti agar tidak ada lagi gugat-menggugat, pasangan Yopi-Sapto yang memakai perahu Partai Demokrat tetap saja mengajukan gugatannya ke MK.
Skor jadi 1-1. Setelah Yopi – Sapto gagal dilantik, Suka – Hamdi juga mengalami hal serupa, karena masih menunggu hasil putusan MK. Yang jadi masalah, masa jabatan bupati lama, Madjid Mu’az, sudah habis, sehingga mengancam terjadi kekosongan kepemimpinan dalam pemerintahan Kabupaten Tebo. Penunjukkan Abdullah sebagai pelaksana harian bupati pun bermasalah, karena di tubuh DPRD Tebo terjadi pula gontok-gontokan soal pemberhentian Madjid Mu’az.
Aksi gugat-menggugat ke MK pasca pemilukada di Jambi terjadi hampir di seluruh kabupaten dan kota. Diantaranya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar). Bupati dan wakil bupati terpilih, Usman – Katamso, digugat oleh incumbent Safrial yang gagal mempertahankan “takhtanya”. Pelantikan Usman-Katamso akhirnya molor sebulan lebih dari jadwal semestinya.
Hal serupa terjadi di pemilukada Muaro Jambi, Batanghari, Sarolangun dan Sungai Penuh. Seluruh calon yang maju kelihatanya hanya ingin menang saja, tanpa pernah menyiapkan diri untuk menerima kekalahannya. Karena itulah, hasil pemilukada Bungo yang bersih dari gugatan dianggap sebagai sebuah kedewasaan para kandidat yang maju mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Beruntung, dalam berbagai organisasi yang ada di bumi pertiwi ini “trend” gugat-menggugat oleh pihak yang kalah tidak “sepopuler” gugatan pemilukada. Meski ada riak-riak ketidak-puasan, dalam organisasi apapun, umumnya para kandidat yang kalah bisa menerima kekalahannya, termasuk dalam organisasi profesi wartawan.
Mudah-mudahan saja mereka yang pernah kalah dalam pertarungan berebut kursi ketua itu benar-benar “diam” karena telah melek demokrasi. Sekiranya nanti mereka ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah, tentu saja mereka sudah lebih siap dalam menerima kekalahan. Bisa jadi kehidupan berdemokrasi di negara ini perlu belajar banyak dari negeri bernama “organisasi”. ***
Langganan:
Postingan (Atom)